IKLAN



 
Faktor-faktor  yang  menimbulkan  penyembahan   manusia
kepada  ciptaan  adalah  ketidaktahuannya  dan tuntutan
alami yang  mutlak  dalam  dirinya  yang  pada  umumnya
mempercayai adanya suatu penyebab bagi setiap fenomena.
Di satu sisi, manusia, yang dikuasai oleh kodrat alami,
merasa harus mencari perlindungan di suatu tempat, pada
suatu pewenang kuat yang mampu menciptakan sistem  yang
unik  ini.  Namun,  di  sisi  lain, ketika ia bermaksud
menempuh jalan ini tanpa tuntunan  para  nabi  -pemandu
Ilahi  dan  telah  ditunjuk untuk menjamin kesempurnaan
perjalanan rohani manusia- ia mencari perlindungan pada
makhluk-makhluk  tak-bernyawa,  hewan,  ataupun  sesama
manusia  sebelum  ia  dapat  mencapai  tujuannya   yang
sesungguhnya,  yakni  Tuhan  Yang  Esa, dan mendapatkan
jejak-jejak-Nya dengan mengamati tanda-tanda penciptaan
dan  mencari perlindungan pada-Nya. Oleh karena itu, ia
membayangkan bahwa inilah  obyek  yang  dicari-carinya.
Melihat  ini,  para  ilmuwan mengakui, setelah mengkaji
kitab-kitab Ilahi dan cara bagaimana dakwah disampaikan
kepada manusia oleh para nabi serta argumentasi mereka,
bahwa  tujuan  para  nabi  bukanlah  untuk   meyakinkan
manusia   tentang   adanya   pencipta   alam   semesta.
Sesungguhnya,  peran   mereka   yang   mendasar   ialah
membebaskan manusia dan cengkeraman syirik (politeisme)
dan  penyembahan  berhala.  Dengan  kata  lain,  mereka
datang  untuk  mengatakan kepada manusia, "Hai manusia!
Allah  yang  kita  semua  percaya  akan  keberadaan-Nya
adalah  ini, bukan itu. Ia esa, bukan berbilang. Jangan
memberikan status Allah kepada makhluk. Terimalah Allah
sebagai Yang Esa. Jangan menerima mitra atau sekutu apa
pun bagi-Nya."
 
Kalimat "tiada Tuhan  selain  Allah,"  membuktikan  apa
yang  kami  katakan  di  atas. Inilah titik mula dakwah
Nabi  Muhammad.  Maksud  kalimat  ini  ialah,  tak  ada
sesuatu  yang  patut  disembah  selain  Allah,  dan ini
berarti bahwa adanya  Pencipta  telah  merupakan  fakta
yang   diakui,  sehingga  manusia  dapat  diajak  untuk
menerima  kemaha-esaan-Nya.  Kalimat  ini   menunjukkan
bahwa di mata manusia zaman itu, bagian pertama -adanya
Tuhan yang menguasai alam semesta-  bukanlah  hal  yang
perlu  dipertengkarkan.  Disamping itu, kajian terhadap
kisah-kisah Qur'ani dan  percakapan  para  nabi  dengan
umat zamannya memperjelas masalah ini.
 
[Catatan   kaki:   Tetapi,  bagaimana  konsepsi  mereka
tentang  berhala?  Apakah  mereka  memandangnya   patut
disembah  dan  hanya  untuk  menjadi perantara, ataukah
mereka berpikir bahwa berhala-berhala itu pun mempunyai
kekuasaan  seperti  Allah?  Masalah  ini berada di luar
bahasan kita sekarang, walaupun pandangan  pertama  itu
kuat dan terbukti.]
 
TEMPAT KELAHIRAN NABI IBRAHIM
 
Jawara   Tauhid  ini  dilahirkan  di  lingkungan  gelap
penyembahan berhala dan  penyembahan  manusia.  Manusia
menundukkan  kerendahan hati kepada berhala yang dibuat
dengan tangannya sendiri, atau kepada  bintang-bintang.
Dalam   situasi  ini,  hal  yang  mengangkat  kedudukan
Ibrahim dan menyukseskan usahanya adalah kesabaran  dan
ketabahannya.
 
Tempat   kelahiran  pembawa  panji  tauhid  ini  adalah
Babilon. Para sejarawan  telah  menyatakan  negeri  itu
sebagai  salah  satu dari tujuh keajaiban dunia. Mereka
telah mencatat banyak  riwayat  tentang  keagungan  dan
kehebatan   peradaban  wilayah  itu.  Sejarawan  Yunani
kenamaan, Herodotus  (483-425  SM),  menulis,  "Babilon
dibangun  di  sebuah  lapangan  persegi-panjang  setiap
sisinya 480 km (120 league), sehingga kelilingnya 1.920
km.    Pernyataan   ini,   betapapun  dibesar-besarkan,
mengungkapkan  realitas  yang   tak   terbantah-apabila
dibaca bersama tulisan-tulisan lainnya.
 
Namun,    dari    pemandangannya   yang   menarik   dan
istana-istananya yang tinggi, tak ada lagi  yang  dapat
dilihat  sekarang  selain  tumpukan  lempung, di antara
sungai Tigris  dan  Efrat,  yang  diliputi  kebungkaman
maut.  Kebungkaman  itu  kadang-kadang  dipecahkan oleh
para  orientalis  yang   melakukan   penggalian   untuk
mendapatkan informasi tentang peradaban Babilonia.
 
Nabi   Ibrahim,  pelopor  tauhid,  dilahirkan  di  masa
pemerintahan  Namrud  putra  Kan'an.  Walaupun   Namrud
menyembah   berhala,  ia  juga  mengaku  sebagai  tuhan
(dewa). Dengan memanfaatkan kejahilan rakyat yang mudah
percaya, ia memaksakan kepercayaannya kepada mereka.
 
Mungkin  nampak  agak  ganjil  bahwa  seorang penyembah
berhala mengaku pula  sebagai  dewa.  Namun,  Al-Qur'an
memberikan   kepada  kita  suatu  contoh  lain  tentang
kepercayaan  ini.  Ketika  Musa  mengguncang  kekuasaan
Fir'aun   dengan   logikanya   yang  kuat  dan  menguak
kebohongannya  dalam   suatu   pertemuan   umum,   para
pendukung   Fir'aun  berkata  kepadanya,  "Apakah  kamu
membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri
ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?"
(QS, Surah al-A'raf,  7:127).  Telah  termasyhur  bahwa
Fir'aun  mengaku  sebagai  tuhan  dan biasa menyerukan,
"Aku adalah tuhanmu yang  tertinggi."  Namun  ayat  ini
menunjukkan bahwa ia juga seorang penyembah berhala.
 
Dukungan  terbesar  yang  diperoleh  Namrud datang dari
para  astrolog  dan  penenung  yang  dipandang  sebagai
orang-orang  pintar di zaman itu. Ketundukan mereka ini
membuka  jalan  bagi  Namrud  untuk  memanfaatkan  kaum
tertindas  dan  kalangan  bodoh.  Selain  itu, sebagian
famili Ibrahim, misalnya Azar yang membuat berhala  dan
juga  memahami astrologi, termasuk pengikut Namrud. Ini
saja  sudah  merupakan  halangan  besar  bagi  Ibrahim,
karena  di  samping  harus berjuang melawan kepercayaan
umum itu, ia  juga  harus  menghadapi  perlawanan  kaum
kerabatnya sendiri.
 
Namrud telah menerjunkan diri ke dalam laut kepercayaan
takhayul. Ia telah membentangkan permadani untuk  pesta
dan   minum-minum   ketika  para  astrolog  membunyikan
lonceng bahaya pertama seraya mengatakan, "Pemerintahan
Anda  akan  runtuh  melalui  seorang putra negeri ini."
Ketakutan laten Namrud bangkit. Ia bertanya, "Apakah ia
telah  lahir  atau  belum?"  Para astrolog itu menjawab
bahwa ia belum lahir. Ia kemudian memerintahkan  supaya
diadakan  pemisahan  antara  perempuan dan laki-laki-di
malam yang, menurut ramalan  para  astrolog,  kehamilan
musuh mautnya itu akan terjadi. Walaupun demikian, para
algojonya  membunuh  anak-anak  laki-laki.  Para  bidan
diperintahkan    untuk   melaporkan   rincian   tentang
anak-anak yang baru lahir ke suatu kantor khusus.
 
Pada malam itu juga terjadi kehamilan  Ibrahim.  Ibunya
hamil   dan,   seperti   ibu   Musa  putra  'Imran,  ia
merahasiakan  kehamilan  itu.  Setelah  melahirkan,  ia
menyelamatkan  diri ke suatu gua yang terletak di dekat
kota itu, untuk melindungi nyawa anaknya tersayang.  Ia
meninggalkan   anaknya   di   suatu   sudut   gua,  dan
mengunjunginya di waktu siang  atau  malam,  tergantung
situasi.  Dengan  berlalunya waktu, Namrud merasa aman.
Ia percaya bahwa musuh tahta dan pemerintahannya  telah
dibunuh.
 
Ibrahim  menjalani  tiga belas tahun kehidupannya dalam
sebuah gua dengan lorong  masuk  yang  sempit,  sebelum
ibunya  membawanya  keluar.  Ketika  muncul  di  tengah
masyarakat, para pendukung Namrud merasa bahwa ia orang
asing.  Terhadap  hal  itu,  ibunya  berkata, "Ini anak
saya. Ia lahir sebelum ramalan para astrolog."  (Tafsir
al-Burhan, I, h. 535).
 
Ketika  keluar  dari  gua, Ibrahim memperkuat keyakinan
batinnya dalam tauhid dengan mengamati bumi dan langit,
bintang-bintang  yang  bersinar, dan pohon-pohonan yang
hijau. Ia menyaksikan masyarakat yang aneh.  Dilihatnya
sekelompok   orang  yang  memperlakukan  sinar  bintang
dengan sangat tolol. Ia  juga  melihat  beberapa  orang
dengan  tingkat  kecerdasan  yang  bahkan lebih rendah.
Mereka membuat berhala dengan tangan sendiri,  kemudian
menyembahnya.  Yang  terburuk dari semuanya ialah bahwa
seorang manusia, dengan mengambil keuntungan secara tak
semestinya dari kejahilan dan kebodohan rakyat, mengaku
sebagai  tuhan  mereka  dan  menyatakan  diri   sebagai
pemberi  hidup  kepada semua makhluk dan penakdir semua
peristiwa.
 
Nabi Ibrahim  merasa  harus  mempersiapkan  diri  untuk
memerangi tiga kelompok yang berbeda ini.
 
IBRAHIM BERJUANG MELAWAN PENYEMBAHAN BERHALA
 
Kegelapan  penyembahan  berhala  telah meliputi seluruh
Babilon, tempat lahir Nabi Ibrahim, Banyak tuhan  dunia
dan  langit  telah  merenggut  hak menalar dan berpikir
dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagiannya memandang
tuhan-tuhan itu memiliki kekuasaan sendiri, sedang yang
lainnya memperlakukan mereka  sebagai  perantara  untuk
memperoleh nikmat dari Tuhan Yang Mahakuasa.
 
RAHASIA POLITEISME
 
Orang Arab sebelum datangnya Islam percaya bahwa setiap
makhluk dan setiap gejala tentulah  mempunyai  penyebab
tersendiri,  dan  bahwa  Tuhan  Yang  Esa  tidak  mampu
menciptakan semuanya. Pada masa itu,  ilmu  pengetahuan
memang  belum  menemukan  hubungan  antara  makhluk dan
fenomena  alami  serta   berbagai   kejadian.   Sebagai
akibatnya,  orang-orang  itu  mengkhayalkan bahwa semua
mahluk   dan   berbagai    fenomena    alami    berdiri
sendiri-sendiri  dan  tidak  ada kaitan satu sama lain.
Karena  itu,  mereka  menganggap  bahwa  untuk   setiap
fenomena  seperti  hujan  dan  salju,  gempa  bumi  dan
kematian,  paceklik  dan  kesukaran,   perdamaian   dan
ketentraman,   kekejaman  dan  pertumpahan  darah,  dan
sebagainya,  ada  tuhannya  masing-masing.  Mereka  tak
menyadari  bahwa  seluruh  alam  semesta  adalah  suatu
kesatuan,  di  mana  bagiannya   saling   terkait   dan
masing-masingnya mempunyai efek timbal balik.
 
Pikiran  bersahaja  manusia  masa  itu belum mengetahui
rahasia penyembahan kepada Allah  Yang  Esa  dan  tidak
menyadari  bahwa  Allah  yang  menguasai  alam  semesta
adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahatahu, Pencipta yang
bebas  dari  segala  kelemahan  dan  cacat.  Kekuasaan,
kesempurnaan, pengetahuan, dan  kebijaksanaanNya  tiada
berbatas.  Ia  di  atas segala sesuatu yang dianggapkan
kepada-Nya. Tak ada kesempurnaan yang tidak Ia  miliki.
Tak  ada  kemungkinan yang tak dapat diciptakan-Nya. Ia
adalah Allah Yang Esa  yang  mampu  menciptakan  segala
makhluk  dan  fenomena tanpa bantuan dan dukungan siapa
pun. Ia dapat menciptakan makhluk lain dengan cara yang
sama  sebagaimana  Ia  menciptakan makhluk-makhluk yang
ada sekarang.
 
Karena itu, secara nalar, adanya perantaraan dari suatu
wewenang  yang  dapat  mengurangi  kemandirian kehendak
Allah  yang  tidak  bersekutu,  tidak  dapat  diterima.
Kepercayaan  bahwa alam semesta mempunyai dua pencipta,
yang satu merupakan sumber kebaikan dan  cahaya  sedang
yang   satu   lagi   merupakan   sumber  kejahatan  dan
kegelapan, juga tak dapat diterima.  Kepercayaan  bahwa
ada  perantaraan  oleh  seseorang,  seperti  Maryam dan
'Isa, dalam hal penciptaan  alam  semesta,  atau  bahwa
pengaturan  tatanan  dunia  fisik telah dikuasakan pada
seorang  manusia,  merupakan  manifestasi  syirik   dan
kelebih-lebihan.  Penganut  tauhid,  dengan rasa hormat
yang  sewajarnya  kepada  para  nabi  dan  orang  suci,
memelihara  keyakinan  pada  Pencipta Alam Semesta, dan
tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.
 
Metode yang digunakan para nabi untuk memberi pelajaran
dan  tuntutan  kepada  manusia  ialah metode logika dan
penalaran,  karena  mereka  berurusan  dengan   pikiran
manusia.  Mereka berhasrat mendirikan pemerintahan yang
didasarkan pada keimanan,  pengetahuan,  dan  keadilan,
dan   pemerintahan  semacam  itu  tak  dapat  didirikan
melalui kekerasan, peperangan, dan  pertumpahan  darah.
Oleh  karena  itu,  kita  harus membedakan pemerintahan
para  nabi  dengan  pemerintahan  Fir'aun  dan  Namrud.
Tujuan  dari  kelompok  yang  kedua  ini  ialah amannya
kekuasaan dan pemerintahan mereka  dengan  segala  cara
yang  mungkin,  sekalipun  negara  akan  runtuh setelah
mereka mati.  Sebaliknya,  orang-orang  suci  bermaksud
mendirikan  pemerintahan  yang  membawa  maslahat  pada
individu maupun masyarakat, baik penguasa itu kuat atau
lemah  pada  suatu  waktu  tertentu, sementara ia hidup
maupun sesudah ia mati. Tujuan semacam itu  tentu  saja
tak dapat dicapai dengan kekerasan dan tekanan.
 
Ibrahim  pertama-tama berjuang melawan kepercayaan kaum
kerabatnya  yang  menyembah  berhala,  di   mana   Azar
merupakan  pentolannya.  Sebelum  mencapai keberhasilan
penuh dalam bidang ini, ia sudah  harus  berjuang  pada
bidang  operasi  lainnya. Taraf pemikiran kelompok yang
kedua ini agak lebih tinggi dan lebih jelas  dari  yang
pertama.  Berlawanan  dengan agama para famili Ibrahim,
mereka ini telah membuang makhluk-makhluk duniawi  yang
hina  dan  tak berharga, lalu memuja bintang di langit.
Ketika melawan  pemujaan  bintang,  Ibrahim  menyatakan
dengan kata-kata sederhana sejumlah kebenaran filosofis
dan ilmiah yang belum dipahami oleh  manusia  di  zaman
itu,   bahkan   sekarang   pun  argumennya  menimbulkan
kekaguman para sarjana yang sangat mengenal seni logika
dan perdebatan. Di atas semua ini, Al-Qur'an juga telah
mengutip argumen-argumen  Ibrahim,  dan  kami  mendapat
kehormatan untuk mengutipnya dengan penjelasan singkat.
 
Untuk dapat menuntun masyarakatnya, suatu malam Ibrahim
menatap ke langit  di  saat  terbenamnya  matahari  dan
terus   terjaga   hingga   ia  terbenam  lagi  di  hari
berikutnya.  Selama  24  jam  ini   ia   berdebat   dan
berdiskusi   dengan   tiga  kelompok,  dan  menyalahkan
kepercayaan mereka dengan argumen-argumennya yang kuat.
 
Kegelapan  malam  mendekat  dan  menyembunyikan  segala
tanda  kehidupan.  Bintang  Venus yang cemerlang muncul
dari suatu sudut cakrawala.  Untuk  merebut  hati  para
pemuja  Venus,  Ibrahim menyesuaikan diri dengan mereka
dan mengikuti garis pikiran mereka  seraya  mengatakan,
"Itu  adalah  pemeliharaku."  Namun, ketika bintang itu
tenggelam dan menghilang di suatu  sudut,  ia  berkata,
"Saya  tak dapat menerima tuhan yang tenggelam." Dengan
penalarannya yang alami, ia  menolak  kepercayaan  para
pemuja Venus dan membuktikan kebatilannya.
 
Pada  tahap  berikutnya,  matanya tertuju pada bundaran
bulan yang bercahaya terang  dengan  keindahannya  yang
memukau.  Dengan  maksud  merebut  hati  pemuja  bulan,
secara lahiriah ia bersikap  seakan  bulan  itu  tuhan,
tapi  kemudian  ia  merontokkan  kepercayaan itu dengan
logikanya yang kuat. Demikianlah, ketika Yang Mahakuasa
membenamkan  bulan  itu  di balik cakrawala, dan cahaya
serta keindahannya lenyap dari muka  bumi,  maka  tanpa
menyinggung  perasaan  para  pemuja  bulan itu, Ibrahim
berkata,  "Apabila  Tuhanku  yang  sesungguhnya   tidak
membimbing aku, tentulah aku tersesat, karena tuhan ini
terbenam seperti bintang dan tunduk pada suatu  tatanan
dan  sistem  yang pasti yang dibentuk oleh sesuatu yang
lain."
 
Kegelapan  malam  berakhir  dan  matahari  pun  muncul,
membuka cakrawala, dan menyebarkan sinar keemasannya ke
muka  bumi.  Para  pemuja  matahari  memalingkan  wajah
mereka    kepada   tuhannya.   Untuk   menaati   aturan
perdebatan,  Ibrahim  juga  bersikap  seolah   mengakui
ketuhanan   matahari.   Namun,   terbenamnya   matahari
mengukuhkan bahwa ia  tunduk  pada  suatu  sistem  alam
semesta   yang   umum,   dan   Ibrahim  secara  terbuka
menolaknya  sebagai  yang  patut  disembah.(lihat   QS,
al-An'am, 6:75-79)
 
Tak  diragukan  bahwa  saat  tinggal  di  gua,  melalui
anugerah Ilahi yang  luar  biasa,  Ibrahim  mendapatkan
dari sumber yang gaib pengetahuan batin tentang tauhid,
yang merupakan kekhususan  para  nabi.  Namun,  setelah
memperhatikan  dan mengkaji benda-benda langit, ia juga
memberikan bentuk  argumentasi  pada  pengetahuan  itu.
Dengan  demikian,  di  samping  menunjukkan  jalan yang
benar  kepada  manusia  dan  memberikan  kepada  mereka
sarana    bimbingan,    Ibrahim    telah   meninggalkan
pengetahuan yang  tak  ternilai  untuk  digunakan  oleh
orang-orang yang mencan kebenaran dan realitas.

0 komentar:

terjemahan

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified